A. KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1. Pengertian
Munakahat
berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar dari pernikahan adalah nikah.
Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata
nikah berarti berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syari’at, nikah itu berarti
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri seorang laki-laki
dan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya
dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga
(rumah tangga) bahagia, yang diridai oleh Allah SWT.
Nikah
termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sunah
Rasul.
2. Hukum Nikah
Menurut
sebagian besar ulama, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Jika dikerjakan tidak mendapat pahala, dan
jika ditinggalkan tidak berdosa.
Ditinjau
dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat
berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram.
1.
Sunah
Bagi
orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari
perzinahan walaupun tidak segera menikah maka hukum nikah adalah sunah.
2.
Wajib
Bagi
orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika
tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.
3.
Makruh
Bagi
orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan
anak-anaknya, maka hukum nikah adalah wajib.
4.
Haram
Bagi
orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, hukum nikah adalah
haram.
3. Tujuan Pernikahan
Secara
umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria
terhadap wanita ataupun sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang
bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama islam.
Tujuan
pernikahan yang islami dapat dikemukakan sebagai berikut :
·
Untuk memenuhi kebutuhan seksual
(birahi) secara sah dan diridai Allah.
·
Untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakat.
·
Untuk mewujudkan keluarga bahagia di
dunia dan akhirat
4. Rukun Nikah
Rukun
nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar
pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut ada 5 macam yakni sebagai berikut:
·
Ada calon suami.
·
Ada salon istri.
·
Ada wali nikah
Wali
nikah dapat dibagi menjadi dua macam :
a)
Wali Nasab
b)
Wali Hakim
Syarat
yang harus dipenuhi oleh wali nikah :
a.
Beragama Islam
b.
Laki-laki
c.
Balig dan berakal
d.
Merdeka dan bukan hamba sahaya
e.
Bersifat adil
f.
Tidak sedang ihram haji atau umrah
·
Ada dua orang saksi.
·
Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul.
Ijab adalah ucapan wali (dari puhak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada
mempelai laki-laki. Qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda
penerimaan.
Selesai
akad nikah diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakn walimah
adalah sunah muakkad.
Menghadiri
walimah bagi yang diundang hukumnya wajib, kecuali kalu ada uzur (halangan)
seperti sakit.
5. Muhrim
Menurut
pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim
adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram
dinikahi ada empat macam, yaitu :
1)
Wanita yang haram dinikahi karena
keturunan:
a.
Ibu kandung dan seterusnya ke atas
(nenek dari ibu dan nenek dari ayah)
b.
Anak perempuan kandung dan seterusnya ke
bawah (cucu dan seterusnya)
c.
Saudara perempuan (sekandung, sebapak
atau seibu)
d.
Saudara perempuan dari bapak
e.
Saudara perempuan dari ibu
f.
Anak perempuan dari saudara laki-laki
dan seterusnya kebawah
g.
Anak perempuan dari saudara perempuan
dan seterusnya kebawah
2)
Wanita yang haram dinikahi karena
hubungan sesusuan:
a.
Ibu yang menyusui
b.
Saudara perempuan sesususan
3)
Wanita yang haram dinikahi karena
perkawinan:
a.
Ibu dari istri (mertua)
b.
Anak tiri (anak dari istri dengan suami
lain), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya)
c.
Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah
dicerai atau belum
d.
Mennatu (istri dari anak laki-laki),
baik sudah dicerai maupun belum
4)
Wanita yang haram dinikahi karena
mempunyai pertalian muhrim dengan istri.
6. Kewajiban Suami dan Istri
Secara
umum kewajiban suami-istri adalah sebagai berikut.
v Kewajiban
Suami
a.
Memberi nafkah, sandang, pangan, dan
tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang
diusahakan secara maksimal.
b.
Memimpin serta membimbing istri dan
anak-anak.
c.
Bergaul dengan istri dan anak-anak
dengan baik (makruf)
d.
Memelihara istri dan anak-anak dari
bencana.
e.
Membantu istri dalam tugas sehari-hari.
v Kewajiban
Istri
a.
Taat kepada suami dalam batas-batas yang
sesuai dengan ajaran islam.
b.
Memelihara diri serta kehormatan dan
harta benda suami.
c.
Membantu suami dalam memimpin
kesejahteraan dan keselamatan keluarganya.
d.
Menerima dan menghormati pemberian suami
walaupun sedikit.
e.
Hormat dan sopan kepada suami dan
keluarganya.
f.
Memelihara, mengasuh, dan mendidik anak
agar menjadi anak yang saleh.
7. Perceraian
Perceraian
berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Salah satu sebab
perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak
dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dari pihak
suami dan pihak istri.
Hal-hal
yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak
suami atau istri, talak, fasakh, khulu, li’an, ila’, dan zihar.
Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
a)
Talak
Talak
berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan
talak dari pihak suami kepada istrinya. Asal hukum talak adalah makruh (sesuatu
yang dibenci atau tidak disenangi).
Talak
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.
Talak Raj’i
b.
Talak Ba’in
b)
Fasakh
Fasakh
adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu.
Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari istri atau
suami dengan alasan yang dapat dibenarkan.
c)
Khulu
Menurut
istilah bahasa, khulu berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khulu adalah talak
yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri,
baik dnengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan
memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
d)
Li’an
Li’an
adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina.
e)
Ila’
Ila’
berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya
selama empat bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan.
f)
Zihar
Zihar
adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya.
8. ‘Iddah
‘Iddah
berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dari
suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan ‘iddah
antara lain untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil
atau tidak.
Lama
masa ‘iddah adalah sebagai berikut:
1.
‘Iddah karena suami wafat
a.
Bagi istri yang sedang tidak hamil, baik
sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, massa ‘iddahnya adalah
empat bulan sepuluh hari.
b.
Bagi istri yang sedang hamil, masa
‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
2.
‘Iddah karena talak, fasakh, dan khulu’
a.
Bagi istri yang belum campur dengan
suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa ‘iddah.
b.
Bagi istri yang sudah campur, masa
‘iddahnya adalah:
·
Bagi yang masih mengalami menstruasi,
masa ‘iddahnya ialah tiga kali suci.
·
Bagi istri yang sudah menopause, masa ‘iddahnya
adalah tiga bulan.
·
Bagi istri yang sedang mengandung, masa
‘iddahnya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya.
9. Rujuk
Rujuk
berarti kembali, yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya
sebagaimana semula, selama istrinya masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah.
Hukum
rujuk asalnya mubah, artinya bolehrujuk boleh pula tidak. Akan tetapi hukum
rujuk bisa berubah, sebagai berikut:
a.
Sunah, misalnya apabila rujuknya suami
kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku
serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganyasebagai rumah tangga bahagia.
b.
Wajib, misalnya bagi suami yang mentalak
salah seorang istrinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan
pembagian waktunya.
c.
Makruh (dibenci), apabila meneruskan
perceraian lebih bermanfaat daripada rujuk.
d.
Haram, misalnya jika maksud rujuknya
suami adalah untuk menyakiti istri atau mendurhakai Allah SWT.
Rukun
rujuk ada empat macam, yaitu:
1.
Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan
masih berada pada masa ‘iddah raj’iyah.
2.
Keinginan rujuk suami atas kehendak
sendiri, bukan karena dipaksa.
3.
Ada dua orang saksi, yaitu dua orang
laki-laki yang adil.
4.
Ada sigat atau ucapan rujuk.
B. HIKMAH PERNIKAHAN
Fuqaha
(ulama fiqih) menjelskan tentang hikmah-hikamh pernikahan yang islami, antara
lain:
1.
Memenuhi kebutuhan seksual dengan cara
yang diridai Allah, dan menghindari cara yang dimurkai Allah.
2.
Pernikahan merupakan cara yang benar,
baik, dan diridai Allah untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan
yang sah.
3.
Melalui pernikahan, suami-istri harus
saling bertanggung jawab dalam mengurus keluarga.
4.
Menjalin hubungan silaturahmi antara
keluarga suami dan keluarga istri.
C. PERKAWINAN MENURUT
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDINESIA
Perkawinan
diatur dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 154/1991 tentang Pelaksanaan
Instruksi Presiden RI NO. 1/1991 tanggal 10 Juni 1991 mengenai Kompilasi Hukum
Islam di Bidang Hukum Perkawinan.
1.
Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam
pasal 2 dan pasal 3 dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan
dijelaskan bahwa pengertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuan perkawinan ialah untuk mewujudkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
2.
Sahnya Perkawinan
Dalam
pasal 4 Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal
2 ayat (1) UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menegaskan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
3.
Pencatatan Perkawinan
Dalam
pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan:
·
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
·
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
·
Agar pelaksanaan pencatatan perkawinan
itu dapat berlangsung dengan baik, maka setiap perkawinan harus dilaksanakan
dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
·
Perkawinan yang dilakukan diluar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.
Akta Nikah
Dalam
pasal 7 ayat (1) dari Kompilasi Hukum Islam dibidang hukum perkawinan
dijelaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Akta
Nikah atau Buku Nikah (Surat Nikah) adalah surat keterangan yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah yakni KUA Kecamatan.
Surat
nikah tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah diatas materai dan
distempel, lalu diserahkan kepada kedua mempelai yang telah melakukan akad
nikah.
5.
Kawin Hamil
Dalam
pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dari Kompilasi Hukum Islam dibidang perkawinan
dijelaskan:
1)
Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)
Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
3)
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada
saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak lahir.
0 komentar:
Posting Komentar